Titik Balik

"Kalau kalian berhenti sejenak, lalu melihat ke belakang, melihat semua jatuh bangun, melihat semua pencapaian yang kalian raih sampai detik ini; Momen mana yang menjadi sebuah titik balik dalam hidup kalian?"

Begitulah isi sebuah twit yang melintas di linimasaku. Seketika twit tersebut membuatku terdiam sejenak, memikirkan hal yang sama. Apa yang menuntunku hingga aku bisa menjadi diriku yang sekarang?

Pikiranku membawaku kembali mengenang masa lalu, mengingat-ingat kejadian-kejadian yang kiranya bisa menjadi sebuah titik balik dalam kehidupanku.

Titik balik yang pertama dalam hidupku mungkin adalah perkenalanku dengan seorang murid pindahan ketika aku masih duduk di bangku SMA. Yah, sejujurnya aku tidak ingat bagaimana kami bisa berkenalan pada waktu itu. Hahaha.

Dia adalah seorang anak perantauan di Kota Pelajar dari pulau seberang. Seperti layaknya siswa perantauan pada umumnya, dia tinggal di sebuah indekos selama menuntut ilmu di Yogyakarta.

Indekos tempat dia menetap biasa kami ibaratkan sebagai bioskop. Di sana kami beramai-ramai hingga sesak memenuhi kamar indekosnya yang sempit sering menonton film—bajakan, tentu saja. Dia menyewa film-film dari tempat penyewaan film yang menjamur kala itu, kemudian menyalinnya ke dalam komputer miliknya hingga akhirnya memiliki koleksi film yang cukup banyak untuk kami tonton. Hahaha.

Apa yang dia lakukan ketika itu dengan komputer miliknya—termasuk kemahirannya mengolah foto digital—mungkin dianggap biasa saja bagi sebagian orang. Namun, melalui dirinyalah aku melihat kecanggihan dari sebuah komputer. Oke, sepertinya terdengar terlalu berlebihan, tapi kurasa itulah yang menjadi titik balik bagiku. Aku ingin kuliah di jurusan Ilmu Komputer!

Aku pun akhirnya berhasil diterima masuk  jurusan prodi Ilmu Komputer. Meskipun apa yang kubayangkan tentang perkuliahan Ilmu Komputer pada awalnya tidak sesuai dengan kenyataan, aku berhasil menyelesaikan masa studiku dengan tidak gemilang, karena memakan waktu yang terlalu lama.

Ada beberapa alasan yang bisa kujadikan pembenaran berkaitan dengan terlalu lamanya masa studi yang kutempuh. Maklum, masa mudaku dipenuhi kegalauan. Terutama kegalauan akan masa depan setelah aku lulus. "Di manakah aku akan bekerja nantinya?"

Sejujurnya, aku ingin mencari nafkah di kampung halaman saja, sembari menemani ibuku di rumah, merawat ayahku yang sakit. Sayangnya, penghasilan yang kiranya akan kuterima di kota kelahiranku ini pastilah lebih kecil jika dibandingan dengan pendapatan di ibu kota.

Lalu, semuanya berubah sepeninggalan ayahku. Berbekal restu dari ibuku dan dengan tekad bulat—meskipun berat rasanya meninggalkan ibuku—aku memberanikan diri merantau ke Jakarta. Kuanggap inilah jalan takdirku; pintu rezeki yang telah dibukakan oleh Allah SWT untukku; titik balik yang kedua dalam hidupku.

Merantau adalah suatu hal yang besar bagiku, karena aku telah lama menjadi anak rumahan. Inilah untuk pertama kalinya aku akan tinggal jauh dari orang tua, menetap di sebuah tempat yang asing untuk waktu yang tak sejenak. Ibu kota, yang konon katanya lebih kejam daripada ibu tiri. Yah, aku tak pernah memiliki ibu tiri. Jadi, tak mengapa buatku.

Kini sudah lebih dari 6 tahun aku bertahan hidup di Jakarta. Alhamdulillah diriku masih utuh hingga saat ini. Hidup di Jakarta memang tidaklah selalu mudah. Namun, begitulah merantau, bukan? Banyak kisah yang terjadi, dan tak selalu indah. Hidup merantau juga turut andil dalam mendewasakan pikiranku.

Seiring berjalannya waktu; bertambahnya usia; serta berkali-kali patah hati, aku pun akhirnya dipertemukan dengan jodohku di kota yang riuh ramai ini. Berawal dari perkenalan yang diinisiasi oleh orang tua masing-masing, hubungan kami serasa mengalir begitu saja dengan smooth, berlanjut nyaris tanpa adanya halangan yang berarti, hingga akhirnya kami sah menjadi sepasang suami dan istri. Alhamdulillah.

Pernikahan kami menjadi titik balik ketiga dalam hidupku. Dengan adanya peningkatan tanggung jawab baru sebagai kepala keluarga, diriku yang selama membujang hanya menjalani hidup dengan santai-santai saja, kini harus lebih bersemangat, tekun, dan ulet dalam mencari nafkah demi menghidupi anak dan istriku. Keluarga dan cicilan memang motivasi terbaik untuk bekerja keras membanting tulang. Hahaha. Jadi, rasanya tak berlebihan kukatakan bahwa jika aku tak menikah, maka kupikir aku tidak akan mungkin menjadi diriku yang sekarang, tepat pada momen saat ini.

Nah, itulah tiga peristiwa yang menjadi titik balik dalam hidupku sejauh ini. Memang, pada awalnya aku sendiri tidak mengetahui bagaimana keputusanku ketika itu akan membawa diriku ke masa depan yang seperti apa. Namun, apabila aku menengok kembali ke belakang, maka tiga peristiwa di atas nampak saling berkaitan. Semacam causality.

Tentu saja, perjalanan yang aku lalui tidaklah selalu merupakan jalan yang lurus, bahkan tak jarang jalannya berliku-liku. Akan tetapi, sungguh, jika kita mengimani bahwasanya segala sesuatu yang terjadi telah diatur dan atas izin Allah SWT, maka dari lubuk hati yang paling dalam kita bisa mengetahui mana jalan yang insya Allah akan membawa kita kepada kebaikan. Mungkin terdengar klise, tapi jika boleh aku memberi saran, jalani saja dulu.

Akhir kata, semoga jalan hidup yang kita tempuh adalah jalan yang diridhoi olehNya, serta menjadi berkah bagi kita semua. Amin.

Komentar